Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan munculnya varian terbaru Covid-19, yakni varian Delta.
Dikutip dari webmd.com, hanya dalam waktu enam bulan setelah penemuan varian Delta telah mencapai 74 negara.
Varian virus corona Delta atau B.1.617.2 merupakan varian mutasi pertama kali terdeteksi di India dan telah menyebar ke lebih dari 60 negara seperti di Inggris dan Indonesia.
Varian ini menyumbang sekitar 60 persen dari kasus virus corona di Amerika Serikat. Sementara di Inggris, varian ini telah menyumbang 90 persen kasus infeksi Covid-19 baru.
Belum usai dalam menghadapi varian delta yang disebutkan sangat menular, kini varian tersebut telah bermutasi lebih lanjut dengan membentuk varian Delta plus atau AY.1.
Dilansir dari Independent, (15/6/2021), berdasarkan data awal menunjukkan garis keturunan baru ini (B.1.617.2.1) memungkinkan virus corona untuk lebih tahan terhadap perawatan terapi antibodi karena termasuk mutasi K417N, di mana virus ini pertama kali ditemukan pada varian Beta yang muncul di Afrika Selatan.
Tidak hanya dikenal sebagai varian baru, varian ini memiliki kemampuan untuk menolak terapi antibodi monoklonal.
Berdasarkan laporan yang dihimpun, data awal menunjukkan bahwa varian Delta Plus menunjukkan tanda-tanda resistensi terhadap pengobatan antibodi monoklonal.
Apa bedanya dengan varian lain?
Penelitian menyebutkan, varian ini 60 persen lebih mudah ditularkan atau ditransmisikan dibandingkan strain Alpha yang pertama teridentifikasi di Inggris. Padahal, strain Alpha juga tergolong lebih mudah menular jika dibandingkan dengan strain asli dari corona baru yang ditemukan di Wuhan, China, pada akhir 2019.
Selain itu, Badan Kesehatan Publik Inggris (PHE) juga menyebut Delta menimbulkan risiko rawat inap hingga dua kali lipat dibandingkan Alpha. Diberitakan CNN, 10 Juni 2021, data itu mereka peroleh dari proses analisis terhadap 38.805 kasus di wilayahnya. Hasilnya, ditemukan bahwa mereka memiliki risiko 2,61 kali lebih tinggi untuk menjalani rawat inap dalam jangka waktu 14 hari.
Dilansir dari beritasatu.com, Vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Astrazeneca dan aliansi Pfizer-BioNTech tetap efektif secara luas terhadap Covid-19 varian Delta, yang pertama kali diidentifikasi di India. Demikian menurut sebuah studi ilmiah yang mendukung dorongan berkelanjutan untuk memberikan suntikan.
Studi oleh peneliti Universitas Oxford, yang diterbitkan dalam Journal Cell, menyelidiki kemampuan antibodi dalam darah dari orang-orang yang divaksinasi dengan rejimen dua suntikan, untuk menetralkan varian Delta dan Kappa yang sangat menular, menurut sebuah pernyataan.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa generasi vaksin saat ini akan memberikan perlindungan terhadap garis keturunan B 1617,” kata jurnal ilmiah itu, mengacu pada varian Delta dan Kappa dengan kode yang umum digunakan.
Namun, konsentrasi antibodi penetralisir dalam darah agak berkurang, yang dapat menyebabkan beberapa infeksi terobosan, demikian mereka memperingatkan.
Gejala
Gejala varian virus corona Delta sebagaimana disampaikan oleh profesor kedokteran darurat dan kesehatan internasional di Johns Hopkins Universiy, Dr. Bhakti Hansoti meliputi:
- Sakit perut,
- Hilangnya selera makan,
- Muntah,
- Mual,
- Nyeri sendi,
- Gangguan pendengaran.
Kebanyakan pasien yang terinfeksi virus ini juga membutuhkan perawatan medis di rumah sakit, bahkan memerlukan bantuan oksigen dan menderita komplikasi lain.